![]() |
i dont know why its hikaru o.o btw : |
Yabu kembali keruangannya. Ia menduduki sofa di ruangan itu. Seketika ia tersenyum entah karena apa.
Seseorang masuk ke ruangannya, tanpa mengetuknya terlebih dahulu. Yamada Ryosuke.
“Yabu-san kejam sekali pada Daiki”, katanya yang langsung menghampiri Yabu. “Apa Yabu-san memiliki maksud tertentu?”.
Yabu terlihat berpikir, taka lama ia tersenyum. “Tidak, tidak ada maksud apa-apa. Aku hanya ingin melihat pertunjukan yang menarik”, jawabnya. Ia membolak-balikkan kertas-kertas yang ada dimejanya. Ada yang menarik rupanya.
“Yamada, sepertinya ada tugas yang menarik”, yabu memberikan kertas itu pada yamada. Yamada membacanya, ia melirik pada yabu dengan tatapan heran. Kelihatannya yamada sudah selesai membacanya.
“Hei, hei, yabu-san jangan memberi tugas ini padaku”, yamada meletakkan kertas itu di atas meja yabu. “Hm… padahal aku pikir, ini sangat unik loh”, yabu menanggapinya ringan.
“Baiklah, panggil yuto nakajima ke tempatku. Sekarang!”, perintah yabu.
õõõ
Hikaru dan Yuto sedang bersantai di ruang tengah. “Hei, Yuto dengarkan ceritaku ya!”, pinta Hikaru.
“Hn”
Hikaru merubah posisi duduknya. Sekarang ia duduk tepat disamping yuto. “Menurutmu apakah aku ini kejam?”, Hikaru menghembuskan napasnya, kini ia tampak murung. “Kemarin aku menangani kasus yang sulit”.
“Klienku ingin mencari Ibunya, apapun konsekuensinya. Saat itu aku tahu ibunya sudah meninggal, tapi aku tidak memberi tahunya”, Hikaru terlihat sangat bingung. “Apakan aku ini egois? Apa karena tujuanku sendiri, aku harus mengorbankan nyawa manusia?”, lanjutnya.
Kelihatannya Hikaru menunggu jawaban Yuto, tapi ia tak kunjung mendapat komentar dari teman disampingnnya itu. Saat ia menengok ke samping, ia mendapati Yuto sedang memejamkan matanya.
“Ya ampun Yuto! Aku sedang bercerita padamu, kenapa malah tidur!!!”, Hikaru menggerutu sendiri.
Tak lama kemudian, yamada menghampiri mereka. Ia terlihat menghembuskan napasnya saat melihat Yuto yang sedang tertidur. “Yuto!”, panggilnya.
Ia tak mendapat respon dari panggilannya itu. “Yuto!!”, panggilnya lagi dengan suara yang lebih keras. Tetapi, tak ada hasil. Yuto masih belum bangun dari tidurnya.
Masih dengan tampangnya yang tenang, Yamada menghembuskan napasnya. Sebenarnya ia tidak suka harus berteriak-teriak untuk hal yang tidak penting. Yamada mulai jengkel.
Ia mengambil sebuah vas bunga terdekat dan mengangkatnya. Dengan tampang yang tidak berdosa ia melemparkannya di kepala yuto yang sedang tertidur. Seketika ia mendapati Yuto yang kesakitan memengang kepalanya itu.
“Bodoh! Apa yang kau lakukan?”, kata yuto yang kelihatannya kesal.
Dengan wajah tanpa ekspresi setelah melakukan hal itu, Yamada menjawab singkat, “membangunkanmu”.
“Bodoh! Kalau kau ingin membengunkanku kau cukup memanggilku saja. Kalau begini caranya aku bisa mati tauk!!”, protesnyabertubi-tubi.
Yamada yang malas menanggapi Yuro hanya menjawab seadanya, “Messenger God tidak akan mati hanya karena hal itu, BODOH”, yamada membalas perkataan Yuto. “Yuto, kau dipanggil oleh Yabu-san. Kau harus keruangannya sekarang!” perintahnya.
Yuto yang sebenarnya masih ingin membalas kalimat Yamada tadi, langsung pergi setelah mendengar nama yabu dalam kalimat yamada yang terakhir.
“Uhm… yamada-kun. Apa kau mau mendengarkan ceritaku?”, Tanya hikaru yang dari tadi ada di ruangan itu.
“Makhluk seperti kita ini memang harus egois. Kau tahu, semua makhluk itu mempunyai tujuannya masing-masing, dan tujuan kita adalah mengumpulkan nyawa manusia”, kata yamada sembari meninggalkan Hikaru yang masih berada diruangan itu.
õõõ
Daiki menjeput Kyoko dan Ririn adiknya, dirumahnya. Mereka berjalan bersama menuju rumah sakit tempat ibunya kyoko dirawat. Kali ini Kyoko merasa ada yang aneh dengan Daiki. Kali ini Daiki jadi lebih pendiam dari yang biasanya. Jika Kyoko menanyakan sesuatu ia hanya menjawabnya dengan sangat singkat.
Saat diperjalanan, Ririn melihat toko Ice crem dan merengek-rengek pada kakakknya untuk dibelikan. Kyoko bersikeras tidak membelikan ice cream itu pada adiknya.
“Tidak. Pokoknya kakak tidak akan membelikanmu ice cream”, tegas Kyoko.
“Baiklah. Kalau begitu aku saja yang mengantarmu ke toko ice cream itu. Kau mau Ririn?”, ajak Daiki. Ririn pun mengangguk dan menggandeng Daiki ke toko itu.
Kyoko tersenyum,’ dia tidak berubah’ ungkapnya dalam hati. Kyoko menunggu mereka berdua di luar toko itu. Ia melihat Daiki sibuk mengantri, dan Ririn bermain main disekitar tempat itu. Tiba-tiba ia mendapati Ririn sedang berbicara dengan seseorang, orang itu sepertinya seumuran dengan Daiki. Setelah ia perhatikan baik-baik, sepertinya ia mengenal orang itu. Yuya Takaki.
Lalu ia memutuskan untuk menyapa Takaki, karena ia juga teman Daiki. Tapi, tiba-tiba pandangannya terhalang oleh seseorang yang melintas didepannya. Saat orang itu sudah melewatinya, ia mendapati takaki sudah tidak berada disana lagi.
Tak lama kemudian, Daiki dan Ririn keluar dari toko ice cream itu. “Hei, melihat kalian berdua makan ice cream aku jadi ingin membelinya”, ujar kyoko yang melihat Daiki dan Ririn yang sedang memakan ice cream mereka.
“Aku tidak mau mengantarmu”, kata Daiki. “Huh, lagian siapa juga yang meminta kau mengantarku. Aku bisa membelinya sendiri kok”, balas Kyoko.
…
Tak lama kemudian Kyoko keluar dari toko ice cream itu dengan genggaman ice cream strawberry di tangannya. Dengan cepat ia menghampiri Ririn dan Daiki.
“Ayo, kita segera menuju ke rumah sakit”, katanya dengan semangat.
Ririn dan Daiki tersenyum aneh menatap Kyoko. “Ada apa?”, respon Kyoko. “Kakak lucu”, kata Ririn sambil menunjuk dagu kakaknya. Kyoko mengerti bahwa ada noda ice cream di dagunya dan ia pun hanya tersipu malu dan mengelap noda itu.
Baru beberapa langkah dari tempat mereka tadi, Kyoko menghentikan langkahnya secara mendadak. “Ya ampun. Aku lupa kembaliannya”, ucapan Kyoko itu membuat Ririn dan Daiki kaget. “Tunggu sebentar ya, aku mau mengambil kembalian itu.”, Kyoko segera berlari menuju toko ice cream itu.
Saat ia selesai dengan urusannya, ia segera keluar. Tapi belum sempat ia keluar, Kyoko melihat suatu pemandangan yang membuatnya sangat terkejut. Ia melihat semuanya dengan jelas dari pintu kaca toko itu.
õõõ
Yuto duduk dihadapan Yabu yang sedang memeriksa kertas-kertas dihadapannya. Tak lama suara pintu ruang itu terbuka, Yamada memasuki ruangan itu.
“Baiklah, ada tugas untukmu pemalas!”, seru Yabu pada Yuto. Yabu memberikan secarik kertas pada Yuto, dengan isyarat tangannya ia menyuruh Yuto untuk membacanya.
Yuto terlihat serius membacanya, ia menaikkan sebelah alisnya. “apa-apaan ini?”, tanya Yuto sembari meletakkan kertas itu.
“menarik bukan?”, pancing yabu. Yuto terlihat tidak mengerti dengan kata-kata orang dihadapannya itu, “Orang ini, kenapa aku tidak bisa membaca keinginannya? Lagi pula orang ini juga tidak menulis keinginannya pada surat ini”, kata yuto yang menunjuk selembar kertas yang baru saja diletakkannya.
“Karena itu, menarik kan?”, kata yabu sekali lagi. “Justru itu, untuk apa melayani seseorang yang permintaannya saja tidak jelas”, balas yuto.
Biasanya hanya dengan membaca isi surat dari ‘kliennya’, Messenger God dapat langsung mengetahui keinginan ‘kliennya’ itu. Walaupun surat yang ditulis hanya tercantumkan nama, dan kata-kata yang tidak jelas (biasanya curahan hari orang itu).
Yabu merubah ekspresinya yang santai menjadi serius, “Tapi ini perintah! Kau harus melaksanakannya”, titah yabu.
Yuto sama sekali tidak berkutik melihat wajah seseorang yang ada dihadapannya itu. Dia berpikir mau tidak mau dirinya harus menjalankan tugas yang tidak jelas ini. Setelah itu, Yabu beranjak pergi dari tempat duduknya. Memberikan surat tugas itu pada Yamada yang dari tadi berdiri disamping pintu.
“Oh iya. Yuto, kalau butuh bantuan Yamada akan membantumu”, kali ini ekspresinya kembali santai seperti biasanya. “Loh, ta… tapi… Yabu-san…”, Yamada yang nampak kaget dengan keputusan yang tiba-tiba itu, tidak sempat memprotes karena Yabu segera pergi dari ruangan itu.
___________________________________________________
To : Messenger God
From : Cinnen
Tolong penuhi keinginanku
_____________________________________________
Yamada kembali membaca surat itu, dan ia sama sekali tidak bisa membaca keinginan orang yang menulisnya.
Yuto memandang yamada. “Apa kau, liat-liat?!!”, kata yamada yang menyadari sedang diperhatikan. “Aku tidak butuh bantuanmu”, Yuto terdengar ketus saat mengatakannya. “Siapa juga yang akan membantumu”, balasnya seraya pergi dari ruangan itu.
õõõ
Seorang pria berlutut menghadap seorang anak kecil dihadapannya. Ia berlutu agar dirinya setara dengan tinggi anak itu.
“Boleh aku bertanya padamu anak manis?”, Tanya pria itu ramah.
“Tentu saja”, jawab anak itu sambil memandang mata pria dihadapannya itu.
“Bagaimana perasaanmu sekarang?”
“Baik. Sangat Baik, karena hari ini ibuku akan keluar dari rumah sakit”, ujarnya dengan sangat manis.
Pria dihadapannya itu hanya tersenyum, “kau mau ikut denganku?” ajak pria itu.
___________________________________________________________
Kyoko melihatnya dari dalam toko itu. Ia segera berlari keluar, air matanya mengalir deras membasahi pipinya yang memerah saat itu. “Riiriin!!!!!”, teriaknya, ia menerobos kerumunan orang-orang yang mulai mengerumuni adiknya yang tergeletak di tengah jalan dengan bersimbah darah.
Ia mengingat jelas kejadian yang dilihatnya beberapa detik lalu. Kyoko melihat adiknya berlari ditengah jalan dengan wajah ceria miliknya. Seakan didepannya ada tempat yang sangat indah untuk dituju. Saat itu sebuah bus melaju dengan kecepatan tinggi. Dalam sekejap adiknya tertrabak bus itu, dan langsung tergeletak tak berdaya, dihiasi dengan darah yang keluar dari tubuhnya. Di sudut jalan, ia melihat seorang pria menatap semua adegan itu tanpa reaksi apa pun.
Kyoko memeluk erat tubuh mungil yang kini tak bergerak itu. Wajahnya yang beberapa menit lalu tersenyum padanya kini diam membisu. Beberapa orang terlihat ingin membantunya untuk membawa adiknya ke rumah sakit. Dan Kyoko pun menanggapi respon itu dengan cepat.
Dalam perjalanan ia hanya memandang adiknya, Kyoko tak berani menyentuhnya. Ia takut saat menyentuhnya, tidak ada lagi detakan jantung milik adiknya, ia takut mendapati adiknya jika sudah tak bernyawa lagi. “Cepat!! Bisakah lebih cepat lagi??”, Tanya kyoko dengan paniknya pada pengemudi yang mengantar mereka ke rumah sakit terdekat.
Sesampainya dirumah sakit, Ririn langsung dibawa ke UGD. Tak lama setelah masuknya Ririn keruangan itu, seorang dokter keluar. Dokter itu menatap Kyoko, “kau anggota keluarganya?”, Tanya dokter itu. Sebenarnya Kyoko tahu apa yang akan disampaikan dokter itu, dan Kyoko pun tak bisa mengeluarkan suaranya, ia hanya menganggukkan kepalanya.
Kyoko menggenggam erat dadanya. Tak ada luka dibagian itu, tapi Kyoko merasakan sakit yang amat sangat. Sang Dokter pun menggelengkan kepalanya, seraya berkata “maaf, kami sudah mencoba yang terbaik”. Dokter itu pun menepuk pundak Kyoko, yang mengisyaratkan ia harus tabah menerima semua ini.
Dokter itu meninggalkan Kyoko, diikuti dengan perawat-perawatnya. Beberapa detik setelah itu, tubuh Kyoko terasa lemas. Tubuhnya terduduk di lantai, ia tidak kuat untuk mengangkat tubuhnya sendiri. Tangisan tanpa suara menggambarkan wanita itu. Air matanya terus mengalir, tak ada habisnya.
Berbagai pikiran berkelebat dalam otaknya. Perjanjian itu, ibunya, Ririn, ulang tahun Ririn, dirinya yang akan mati, semuanya jadi terasa kosong. Tidak ada gunanya.
Saat itu sesosok pria mendatanginya, ia mengulurkan tangannya dan member sapu tangan pada gadis itu. Kyoko melihat sapu tangan itu, ia mendongakkan kepalanya untuk melihat wajah seseorang yang ada dihadapannya ini.
Daiki Arioka.
“Kau…”, Kyoko berusaha berdiri, entah dari mana tenaga yang ia dapat untuk bangkit. Kyoko mencengkram kerah baju milik Daiki. “Saat itu… aku melihatmu! Saat itu… kau ada. Kau ada saat adikku sedang berada di jalan raya. Tapi kenapa kau hanya diam saja melihat itu semua?”, cengkramannya makin kuat, Daiki tidak member respon apa-apa. “Kenapa kau tidak menolongnya?”, kini tangisan Kyoko pecah. Kini tangis yang tadinya tak bersuara itu pun mengeluarkan suaranya.
Daiki menatap Kyoko tanpa ekspresi, “itu takdir. Adikmu mati itu takdir”, katanya sambil melepas cengkraman Kyoko. “Takdir? Kalau kau menyelamatkan adikku takdirnya akan berbeda. Takdirnya, dia akan hidup!!!”, Kyoko melemparkan tatapan kebencian pada Daiki.
“Seseorang yang sudah bertemu dewa kematian akan diiringi oleh kematian”, ujar Daiki, masih dengan tatapan tanpa ekspresi. Kyoko tersentak, dia mengingat kejadian sebelumnya. Saat ia melihat Ririn sedang berbicara dengan Takaki.
“Satu lagi. Manusia yang belum mendekati ajal tidak dapat melihat wujudnya. Dan karena kau akan mati, jadi kau bisa melihatnya”, ia teringat kata-kata Daiki kemarin. Jadi saat itu, Ririn memang ditakdirkan untuk mati. Pikir Kyoko. Kyoko kini terdiam, kaku tak bergerak.
Daiki pergi meninggalkannya, ia membisikkan seduatu di telinga kyoko sebelum ia pergi. “Besok. Ingat Perjanjian yang kita buat”, bisiknya. Dan Daiki pun langsung pergi. Sesaat kemudian Kyoko ambruk kembali, kini ia kembali terduduk dilantai.
Kyoko ingat. Besok, hari pelaksanaaan perjanjian itu. Janji yang sudah tidak bisa dibatalkan. Hari kematiannya.
…
Kyoko menatap tubuh yang tak bergerak itu. Ia menyentuh wajahnya. Dingin, itu yang dirasakannya. Berbeda dengan rasa dingin ice cream yang dimakannya siang tadi, dingin lalu manis. Tapi saat ini, dingin dan sakit.
“Ririn. Kau tahu? Kakak mengorbankan nyawa kakak untuk memnuhi keinginanmu. Agar Ibu dapat sembuh”, tangisnya kembali meleleh.
“Sekarang kau sudah mati”, ia tak sanggup melanjutkan kalimatnya tapi ia berusaha, “sebentar lagi kakak juga mati. Lalu… dengan begini siapa yang bisa menghibur ibu?”, ia kembali mengelus wajah mungil dihadapannya itu.
“Kakak bodoh ya?”, Kyoko tertawa… tawa yang sama sekali tidak mencerminkan rasa bahagia. “Daiki. Aku pikir dia baik, bodohnya aku berpikir begitu pada makhluk-makhluk egois itu”
õõõ
Yamada berjalan di koridor kamar-kamar di lantai dua, di rumah itu. Ia melihat kamar Daiki yang terbuka. “Menangis lagi, huh?”, tanyanya sinis.
“Kau tidak akan pernah menangis dalam menjalankan tugasmu. Bukankah kau tidak pernah menangis?”, Daiki melirik Yamada. “Kau tidak akan mengerti”.
“Aku memang tidak mengerti, dan tidak mau mengerti”, yamada pergi meninggalkan Daiki.
Saat ia menuju kamarnya, seseorang telah berdiri di depan kamarnya. “Yabu-san”, Yamada terlihat kaget melihat orang itu di depan kamarnya.
“Yamada, terkadang menangis itu perlu loh!”, katanya. Dan ia langsung pergi.
õõõ
Sekarang Daiki berada di hadapan Kyoko. Di hari pelaksanaan perjanjian itu. “Sekarang aku tak peduli dengan nyawaku, dengan hidup ibuku nantinya. Walaupun aku sedih, aku tak akan bisa menangis lagi. Aku sudah cukup menangis seharian”, kata Kyoko pasrah.
“Kau marah padaku kan?”, Tanya Daiki. Tapi Kyoko tak menjawab. “Baiklah, Nishimura Kyoko, kami akan mengambil nyawamu sebagai bayaran atas permintaanmu untuk menyembuhkan ibumu”, Ujar Daiki untuk mengambil nyawa korbannya. Kyoko menatap Daiki, penuh kebencian.
“Dulu, seharusnya kau sudah mati! Sayangnya, entah kenapa aku tidak tega mengambil nyawamu. Kau tahu seseorang yang tidak kuambil nyawanya saat aku masih menjadi Dewa Kematian”, Daiki melirik Kyoko. “Ya. Itu kau. Seharusnya kau berterimakasih padaku, dan meminta maaf, karena kau aku jadi seperti ini”.
Saat itu, kyoko tersenyum di saat detik-detik terakhirnya. Tidak ada lagi perasaan kesal di hatinya pada laki-laki itu. “Ternyata kau memang baik”, Kyoko memandang Daiki, “kue coklat itu, untukmu saja”.
“Oh, iya… Maaf, dan terima kasih”, itulah kata-kata terakhir Kyoko sebelum tubuhnya jatuh. Tubuh kesekian yang jatuh tak bernyawa dihadapan Daiki, tapi tubuh pertama yang mengucapkan ‘maaf dan terima kasih’ di detik-detik kematiannya.
Sekarang ia tidak tahu bagaimana nasib ibunya kyoko setelah sembuh dari sakitnya, pasti ia akan memilih mati dari pada melihat kedua anaknya mati saat kembali ke rumah. Pikir Daiki. Saat itu tubuhnya ambruk melihat seseorang yang disayanginya telah mati karena dirinya.
To be continue…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar