Gadis itu duduk di samping batu nisan ibunya. Air matanya jatuh begitu derasnya. Hanya penyesalan yang hinggap dihatinya. Ia korbankan segalanya untuk dapat bertemu dengan Ibunya lagi, tetapi kini yang ia dapat hanya batu nisan yang berhiaskan nama ibunya. Seorang pria berdiri disampingnya, menatap adegan itu dengan tatapan kosong.
“Sudah bertemu dengan ibumu kan?”, kata pria itu dingin. “Sekarang, tepati janjimu yang telah memakai jasa kami untuk bertemu ibumu”, tambahnya.
Gadis itu tidak menjawab, ia hanya bisa menangis. Menyesali perjanjian yang telah dibuatnya dengan pria disampingnya itu “Kau licik!”, gadis itu memberanikan diri. “Kau pasti tahu ibuku sudah meninggal, tapi kau tidak memberitahu itu padaku”, tangisnya pecah.
“Tugas kami hanya memenuhi permintaanmu. Kami tidak memberikan informasi tentang apapun yang tidak diperlukan”, jawabnya ringan.
Gadis itu berdiri menatap pria disampingnya. Ia mengingat-ingat kembali perjanjian yang mereka buat.
“Kami hanya bisa menangani permintaan yang bersifat duniawi, jika ibumu masih hidup kami bisa mempertemukan kalian. Tetapi jika ibumu sudah meninggal kami tidak bisa mempertemukan kalian. Apa kau setuju dengan konsekuensi yang seperti ini?”
“Ya. Aku setuju.”
Matanya kembali panas, ia berusaha tegar. Nyawa yang dimilikinya terbuang sia-sia, karena perjanjian ini. “Kau benar”, lirihnya.
“Aiko Hanazawa, kami akan mengambil nyawamu sebagai bayaran atas permintaanmu untuk bertemu ibumu”
“Sesuai dengan perjanjian kita, jika hal ini terjadi kau akan memberikan surat ini pada adikku”, gadis itu memberikan sebuah amplop.”Aku benci makhluk sepertimu”, kata Aiko untuk yang terakhir kalinya. Tak lama setelah itu, tubuh gadis itu jatuh di samping nisan ibunya. Tubuh itu, yang sekarang kosong tak bernyawa.
õõõ
Bau obat yang menyengat, ruangan dan alat-alat yang serba higienis menghiasi ruangan di rumah sakit itu. Alat itu mengeluarkan bunyi yang tak senada walau tidak berirama, dan menampakan garis naik-turun yang menandakan manusia disampingnya itu masih hidup.
Wanita tua lemah terbaring di ranjang itu. Disampingnya, Nampak seorang wanita yang memegang tangannya. “Ibu, cepatlah bangun. Sebentar lagi Ririn ulang tahun”, air mata gadis itu jatuh membasahi tangan ibunya.
“Kakak, apa ibu sudah bagun?”, seorang gadis kecil menghampiri wanita itu. Ia menggenggam sebuah teddy bear pemberian Ibunya tahun lalu. “Kakak, Ibu pasti bangun kan? Ibu berjanji akan membuatkan kue di ulang tahunku”, gadis kecil itu menghapus air mata kakaknya.
“Ya, Ibu pasti akan membuat kue di hari ulangtahunmu. Kakak janji”, Kyoko memeluk adik kesayangannya itu.
…
Apa kabar burung itu benar? Jika kita mengirim surat kesana, apakah segala keinginan kita akan terwujud?, pikirnya. Kyoko duduk di sebuah bangku, di pinggir jalan. Tetapi, menurut kabar burung itu mereka meminta nyawa sebagai bayaran… Aah, itu bukan masalah, asalkan ibu…
“Kau hanya perlu menuliskan permintaanmu dalam surat itu”
“Dan katanya, kau tidak perlu menuliskan namamu ataupun alamat rumahmu. Bahkan tanpa perangko pada surat yang kau buat, katanya mereka bisa mengetahui keberadaanmu. Kau hanya perlu menuliskan St. Sieben Besser for Messenger God”
Kyoko mengambil kertas dari dalam tasnya. Ia menuliskan sebuah permintaan, dan melipat kertas itu, memasukkannya ke dalam amplop. Di atas amplop yang tak berperangko itu, ia menuliskan sebuah alamat.
St. Sieben Besser for Messenger God
Aku berharap kabar burung itu benar, walau nyawaku sebagai bayarannya. Kyoko bangun dari duduknya, ia mulai berjalan mencari kotak pos. Di pertigaan jalan ia menemukan sebuah kotak pos merah, Kyoko menghampirinya. Ada sedikit keraguan saat ia hendak memasukan surat itu ke dalam kotak pos.
Kyoko memejamkan matanya, menguatkan keyakinan hatinya. Ia menjatuhkan surat itu ke dalam kotak pos. Apakah tindakanku ini benar?, pikirnya lagi.
õõõ
Angin yang berhembus halus, pohon-pohon yang menjulang tinggi, menghiasi pemandangan di sekitar rumah itu. Rumah besar yang dihuni oleh beberapa pemuda. Rumah yang kelihatannya tua nan megah, terpencil dari keramaian manusia.
Langkah pria itu mendekatinya, membuka pintu rumah itu. Seseorang kelihatan menyadari kedatangan pria itu, ia menyambutnya sembari berdiri di sisi pintu.
“mendapatkan satu nyawa lagi, huh?”
“Hn… Daiki, ya satu nyawa!”, kata Hikaru yang langsung menerobos masuk dan menghempaskan tubuhnya ke sofa. Daiki yang melihatnya langsung menghampirinya, “apa kau tidak letih dengan ini semua? Mengumpulkan nyawa manusia untuk dapat kembali ke langit?”, ujarnya.
“Letih, tentu saja”, ia merebahkan tubuhnya di sofa itu. “Daiki, aku ingin bertanya padamu. Mm… apa menurutmu aku ini licik?”, Hikaru mengeluarkan sebuah amplop dan memberikannya pada Daiki. “Apa itu?”, Tanya Daiki. ” Itu hanya surat yang menyatakan bahwa ibunya telah tiada, Aiko memintaku untuk memberikannya pada adiknya” katanya lagi.
“Saat aku mengajukan syarat padanya, saat itu aku tahu bahwa ibunya sudah meninggal. Aku tahu bahwa nyawanya akan terbuang sia-sia untuk perjanjian itu, Tapi…”, Hikaru memejamkan matanya.
“Ya, kau sangat licik”, bisik Daiki tepat di telinga Hikaru yang sedang memejamkan matanya. “Makhluk seperti kita akan melakukan hal apapun untuk dapat kembali ke langit”, ujarnya lagi.
.
.
.
.
Seseorang melangkah mendekati mereka berdua, dengan pakaian serba hitam yang melekat ditubuhnya. “Kelihatannya hari ini memang berat bagi Hikaru”, ujarnya. Ia menduduki sofa tepat disamping kedua orang itu.
“Ryosuke Yamada. Ada tugas lagi, huh?”, kata Daiki.
“Hn… Gadis yang diambil nyawanya oleh Hikaru itu kelihatannya menemukan hasil yang nihil, ingin bertemu ibunya tapi yang ditemukan hanya makamnya.”, Yamada mengeluarkan secarik kertas dari saku celananya. Ia kelihatan sedang membaca tulisan yang ada di kertas itu.
“Ya,mungkin mereka akan bertemu di surga sana”, Daiki menghampiri Yamada yang sedang membaca sesuatu.
“Itu tidak mungkin terjadi. Jiwa manusia yang telah membuat perjanjian dengan kita tidak akan bisa ke surga ataupun ke neraka, mereka akan terjebak di soul city. Kau tahu itu kan?”, yamada meletakkan kertas itu dimeja.
“Iya juga, aku lupa hal itu”, Daiki mengambil kertas yang diletakkan oleh yamada.
Hikaru yang dari tadi terbaring disofa, terbangun. Ia mendekati Daiki yang sedang membaca kertas itu. “Tugas kali ini. Nishimura Kyoko, seorang gadis yang ingin menyembuhkan ibunya dari koma”, kata yamada tegas. “Daiki, kau yang bertugas kali ini. And… good luck”, ujarnya lagi.
Daiki bangkit dari sofa yang ia duduki, Sebelum ia sempat melangkah, tangannya ditahan oleh Hikaru. “Jangan lupa… ini, berikan pada adik Aiko” Hikaru memberikan amplop tadi pada Daiki. “Dasar kau… Sekarang aku tahu kau benar-benar licik”, Hikaru tidak menggubris kata-kata Daiki, dan langsung pergi. Yamada mengikuti langkah Hikaru dan meninggalkan Daiki.
“Mereka, menyebalkan!”, Daiki hanya bisa mengeluh sendiri. Dan ia pun segera menjalankan tugasnya.
…
“Hikaru, apa kau menyesal mengambil nyawa gadis itu?”, Tanya yamada. Mereka berdua berada di balkon lantai dua rumah itu. Hikaru merapatkan badannya ke pagar pembatas balkon itu, ia memandang ke bawah dari atas balkon.
“Menyesal, tentu saja tidak”, Hikaru dapat merasakan angin yang menerpa wajahnya saat itu, “Tetapi… rasanya sakit”.
Yamada menghampiri Hikaru, “Aku benci makhluk sepertimu”, ujar Yamada. “itukan yang diucapkan setiap manusia itu, di detik terakhir kematiannya”, lanjutnya lagi.
“Makhluk buangan seperti kita…”, Hikaru membalikan badannya. Matanya mengeluarkan air mata. “ Kita dibenci oleh manusia, Hn… seharusnya kita tidak perlu bersedih atas nyawa-nyawa yang kita ambil, Hanya dengan cara itu kita bisa kembali ke langit kan?”
“Ya, membeli jalan kita untuk kembali ke langit dengan mengumpulkan 1000 nyawa”, tambah Yamada. “Bersabarlah, sebentar lagi kita akan kembali ke langit”, lirihnya.
õõõ
Hujan turun dengan derasnya, petir menggelegar membelah langit. Kyoko mengcup kening adiknya yang sudah tertidur. Ia melangkah perlahan menjauhi adiknya, menutup pintu kamar itu dengan perlahan. Kyoko menggosok-gosokkan kedua tangannya. Malam yang dingin ini membuat Kyoko ingin menghangatkan tubuhnya. Ia pun memutuskan untuk membuat teh hangat.
Ketika hendak menuju dapur, ia mendengar suara ketukan pintu rumahnya. Merasa ragu, ia membiarkannya. Sudah jam Sembilan malam, siapa orang yang mau berkunjung pada jam ini. Pikirnya.
Tak berselang lama, ia mendengar suara ketukan itu lagi. Sekarang kyoko yakin, ada seseorang di luar sana. Tapi, siapa? Kyoko memberanikan diri menuju pintu rumahnya. Ia mengeluarkan suaranya untuk meyakinkan dirinya sekali lagi bahwa ada yang mengetuk pintu rumahnya, “Siapa diluar?”, ujarnya.
“Daiki Arioka. Messenger God”, suara itu terdengar dari luar.
Kyoko terdiam. Ia mendapati dirinya kaku tak bergerak, ia membayangkan seperti apa orang yang ada di depan pitunya itu. Apakah mereka bertubuh besar dan menyeramkan?, pikiran itu terus-menerus berkelebat di otak kyoko.
Dengan ragu Kyoko membuka pintu rumahnya, perlahan. Sedikit terkejut, Kyoko menemukan seorang pemuda yang kira kira berumur sembilan belas tahun dihadapannya.
“Kau? Messenger God? Bagaimana aku yakin akan hal itu?”, Kyoko meyakinkan pandangan matanya. Ia tidak menyangka, menurut kabar burung yang didengarnya mereka yang berasal dari St. Sieben Besser adalah makhluk-makhluk yang mengerikan.
“Ya, tentu saja. Kau Nishimura Kyoko yang ingin menyembuhkan ibumu dari koma”, ujarnya. “Boleh aku masuk, dingin sekali di luar”, tambahnya.
Kyoko mempersilahkan pemuda itu memasuki ruang tamunya. Ia memperhatikan pemuda di hadapannya itu. Bagaimana dia tahu alamatku? Aku tidak menuliskan alamatku pada surat yang kukirim. Inikan kekuatan Messenger God?. Pikirnya. “Hei, apa begini cara manusia memperlakukan tamunya?”, kata Daiki tiba-tiba.
“Uhm… ma- maaf”, badan Kyoko sedikit gemetar.
“Bisa aku minta coklat hangat”, pinta Daiki. Kyoko yang mendengarnya pun heran, ia tidak bereaksi. “Ma- maaf… apa?”, ujar Kyoko ragu.
“coklat hangat? Bukankah manusia selalu menyugukan tamunya dengan suatu hidangan. Mm… setidaknya begitulah klienku yang lalu memperlakukanku”, Daiki meletakkan barang bawaannya di meja.
…
Daiki meletakkan cangkir coklat panasnya. Ia mulai mengambil sesuatu dari barang bawaannya. Kyoko memperhatikan pemuda di hadapannya itu, Apakah benar dia utusan dewa?, pikirnya.
“Baiklah, kita mulai perjanjiannya. Aku akan membacakan persyaratannya, jika kau setuju kita bisa melakukan perjanjian. Dan jika kau tidak setuju, tidak ada perjanjian, dan anggap saja kita tidak pernah bertemu. Oke”, Daiki mulai serius.
Kyoko hanya menganggukkan kepalanya, yang bertanda bahwa ia setuju untuk mendengarkan persyaratan itu. “Apa ada orang lain dirumah ini?”, tanya Daiki.
“Hanya ada aku dan Ririn, adikku”, jawab kyoko. “Tapi dia sudah tidur kok”, tambahnya.
Daiki tersenyum tipis, ia membuka sebuah berkas dan meletakkannya di meja. “Bagus”.
“Peraturan pertama. Permintaan harus bersifat duniawi dan kami berjanji hal itu pasti akan terkabul”
“Kedua. Permintaan tidak dapat berupa pengambilan nyawa orang lain. Misalnya, permintaan untuk membunuh sesorang, itu tidak dapat kami lakukan karena pengambilan nyawa orang lain tanpa persetuuan orang itu bukan tugas kami”
“Ketiga. Bayaran berupa nyawa dari orang yang melakukan permintaan. Setelah tugas terpenuhi, nyawamu akan kami ambil”
Daiki menopang dagunya dengan tangan kanannya, “setuju?”tanyanya. Kyoko meninmbang-nimbang kembali persyaratan yang telah disebutkan itu. Kyoko berpikir sesaat.
“Apa benar-benar harus dibayar dengan nyawaku?”
To be continue…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar